Potensi Kekerasan Dalam Pilkada Taput "Seorang PNS Diduga Gantung Diri karena Tekanan"

Ilustrasi
Pilkada Taput yang akan digelar pada tanggal 10 Oktober 2013 nanti sudah seharusnya mendapat perhatian lebih dari aparat yang berwenang. Hal ini karena ada beberapa indikasi yang menunjukkan adanya peluang perpecahan yang dikuatirkan akan berujung menjadi konflik dengan kekerasan antara konstituen masing-masing pasangan calon yang tidak menerima kenyataan yang timbul akibat dari pilkada tersebut.
Indikasi tersebut diantaranya adalah pertama, ketidakpastian hukum, Keputusan DKPP yang mengesahkan pencalonan Pasangan Pinondang-Ampuan untuk mengikuti Pilkada Taput telah menyebabkan dua pasangan lain tidak memenuhi syarat dalam pencalonan karena kekurangan dukungan suara sah sebagaimana disyaratkan dalam Undang-Undang Nomor Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Ketidakpastian Hukum lainnya adalah tentang boleh atau tidaknya PNS terlibat dalam politik praktis. Dalam hal ini adanya pebedaan pandangan ditengah-tengah masyarakat tentang posisi Pegawai Negeri Sipil dalam menyikapi Pilkada. Hal ini kemudian menjadi polemik karena adanya pernyataan Ketua KPU Taput, Lamtagon Manalu yang menyatakan bahwa “KPU tak larang PNS hadiri kampanye”. Dalam polemik ini, dugaan akan munculnya tekanan-tekanan kepada kalangan PNS untuk memilih salah satu pasangan calon yang masih merupakan kerabat langsung dari Kepala Daerah di Taput sudah menjadi rahasia umum. Pemicunya adalah adanya dugaan mobilisasi PNS pada saat deklarasi salah satu pasangan calon.
Jika kita telusuri, pernyataan Ketua KPU Taput tersebut tentulah dapat menimbulkan ketidakpastian hukum apalagi sebelumnya diduga terjadi mobilisasi PNS dalam menghadiri deklarasi pasangan calon tertentu. Padahal Peraturan Pemerintah nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil Pasal 4 Ayat 15 huruf d menyatakan PNS dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.
Indikasi Kedua adalah adanya indikasi ketidakadilan penyelenggara yang menyebabkan salah satu pasangan calon sempat tidak memiliki kesempatan untuk mengikuti Pilkada Taput. Namun setelah pasangan calon tersebut melakukan gugatan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) akhirnya pasangan calon tersebut disahkan untuk mengikuti Pilkada Taput 23 hari menjelang hari pelaksanaan Pilkada dilakukan.
Keputusan DKPP ini akan menjadi kacamata hitam bagi konstituen Pasangan Calon yang belakangan disahkan tersebut. Hal ini akan menjadikan konstituen pasangan tersebut untuk tidak mempercayai hasil Pilkada versi KPU Taput nantinya, karena sejak awal mereka sudah merasa dihalang-halangi untuk mengikuti Pilkada.  Konflik harus diwaspadai jika nantinya hasil perolehan suara pasangan calon ini berbeda tipis dengan pemenang Pilkada. Karena bisa saja konstituennya merasa mereka juga sedang “dikerjai”.
PNS Gantung Diri
Indikasi Ketiga adalah adanya indikasi tekanan yang sistematis terhadap PNS untuk memilih salah satu pasangan calon yang masih kerabat dari Kepala Daerah yang sedang menjabat. Hal ini sebenarnya sudah menjadi rahasia umum di wilayah Tapanuli Utara, dimana sebagian besar PNSnya gelisah karena adanya tekanan tersebut. Dugaan tekanan yang muncul sangat beragam, mulai dari akan adanya mutasi atau pemindahan oknum yang dianggap tidak loyal, ancaman akan adanya pengusutan penggunaan anggaran di wilayah kerja PNS yang tidak loyal tersebut sampai adanya dugaan ancaman pemecatan dari jabatannya ataupun dari statusnyasebagai PNS.
Kematian Takkas Pardede (49) warga Kecamatan Sipahutar Kabupaten Tapanuli Utara yang baru-baru ini (Senin 16/9/2013) ditemukan tewas dengan gantung diri patut dicurigai sebagai dampak dari adanya tekanan yang dilakukan oleh orang-orang tertentu yang menginginkan kemenangan salah satu pasangan calon. Penyebab almarhum bunuh diri dapat diduga sebagai akumulasi dari ancaman yang dilakukan secara terus menerus dan akhirnya menimbulkan kekuatiran akan terbongkarnya aib yang mungkin dilakukan oleh almarhum.
Dugaan tersebut diatas diambil bukan karena bermaksud melakukan fitnah, namun berangkat dari wawancara yang dilakukan oleh penulis kepada narasumber terpercaya di Kecamatan Sipahutar yang sempat ditemui almarhum Takkas sebelum melakukan tindakan bunuh diri.
Sebagaimana diketahui, Takkas Pardede adalah seorang Kepala Sekolah di SDN No 174581 di Kecamatan Sipahutar, salah satu dari 15 Kecamatan yang ada di Kabupaten Tapanuli Utara. Almarhum pernah mengunjungi salah seorang narasumber (namanya dirahasiakan) dan mengeluh karena adanya ancaman terhadap almarhum atas aktivitas narasumber yang salah satu kerabatnya bekerja di sekolah almarhum menjabat. Karena itu, almarhum meminta agar narasumber tadi untuk menghentikan kegiatannya untuk mendukung secara aktif salah satu pasangan calon lain.
Bahkan almarhum juga sempat menemui beberapa orang yang lain selain narasumber tadi untuk menyampaikan keluhannya mengenai ancaman mutasi terhadap dirinya yang  diduga dilakukan oleh orang-orang dari salah satu pasangan calon yang sanggup melakukan mutasi kepada PNS di wilayah Kabupaten Tapanuli Utara, apabila narasumber tidak menghentikan kegiatannya menggalang dukungan kepada pasangan calon tertentu. Almarhum bahkan sempat memintai pertolongan dari orang-orang yang dijumpainya tersebut untuk turut meminta narasumber tadi menghentikan kegiatan politiknya.
Satu hari menjelang hari kematiannya, 14/9/2013 almarhum bahkan kembali menjumpai narasumber tadi dan memintanya untuk menghentikan dukungan kepada pasangan calon tertentu dengan dalih kerabat narasumber yang bekerja ditempatnya juga bisa terancam diberhentikan. Almarhum juga menyampaikan bahwa ancaman mutasi terhadap dirinya bukanlah main-main. Bahkan almarhum mengaku, sudah banyak oknum yang datang kepadanya yang mengungkit-ungkit dugaan penyalahgunaan anggaran yang didugakan kepadanya. Namun narasumber tetap menyatakan tidak mau menghentikan dukungannya terhadap calon tertentu tersebut.
Sehingga pada esok harinya, almarhum ditemukan tewas dengan cara menggantung diri menggunakan seutas tali nilon di salah satu ruangan yang ada di belakang rumahnya. Sebelum gantung diri, almarhum sempat pergi ke sekolah untuk melakukan aktivitasnya sehari-hari. Namun almarhum tiba-tiba pulang dari sekolah jam 9.00 pagi dan menyuruh istrinya untuk pergi ke pasar berbelanja. Pada saat istrinya pergi ke pasar  itulah diduga almarhum melakukan gantung diri. Istri almarhum juga sempat heran dengan perubahan mendadak dari suaminya yang akhir-akhir ini sering termenung.
Dugaan ancaman dan tekanan yang dilakukan terhadap almarhum Takkas Pardede ini tidak bisa diabaikan begitu saja. Karena hal ini bisa saja menjadi fenomena gunung es, dimana hanya puncaknya saja yang kelihatan. Bisa saja seluruh PNS di Taput yang jumlahnya sekitar 6.444 orang mendapat tekanan dan ancaman serupa, sebagaimana yang diderita oleh Takkas. Untuk itu, pihak berwenang harus pro aktif dalam mencegah pihak yang kuat, dalam hal ini orang-orang atau tim sukses pasangan calon yang memiliki akses untuk melakukan mutasi, tekanan terhadap, harus diperiksa dan hal tersebut untuk menjamin jangan sampai ada yang semena-mena terhadap PNS.
Terkait dengan dugaan penyebab almarhum bunuh diri, aparat terkait seharusnyalah melakukan investigasi cepat dengan melakukan pemeriksaan terhadap siapa saja yang berkomunikasi dengan almarhum sebelum dia bunuh diri. Aparat bisa saja memeriksa siapa saja yang menghubungi handphone almarhum dan memeriksa apa saja yang dikomunikasikan dengan almarhum sebelum kematiannya.
Penutup
Potensi kekerasan bisa saja terjadi jika sekelompok orang merasa adanya ketidakadilan terhadap kelompoknya yang dilakukan oleh kelompok lain yang lebih dominan. Untuk itu, demi menjaga Pilkada Taput yang bersih, dan tanpa kekerasan. Pihak terkait dalam hal ini negara dan instrumennya harus menjamin warganya tidak mendapat tekanan, tindakan semena-mena, ketidak adilan dalam menyampaikan hak politiknya sebagai warga negara, dalam hal ini untuk memilih Kepala Daerah Tapanuli Utara yang bersih dan benar-benar bertujuan mengabdi kepada masyarakat.
Oleh: Ranto Sibarani*
  • Artikel ini dimuat juga di Kompasiana
  • Direktur Eksekutif Perkumpulan KOTIB (Komunitas Untuk Indonesia Baru)
  • Sekretaris Badan Pengurus Kontras Sumatera Utara.
  • Tulisan diatas merupakan pendapat pribadi penulis dan Nama narasumber disimpan oleh penulis.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Merasa Dijebak, Keturunan Marah Halim Harahap, marah dan lakukan Perlawanan Hukum

Kuasa Hukum Pertanyakan Motif Direktur PT KIM Penjarakan Toga Damanik

Disangsikan Bunuh Diri, Kepolisian Diminta Selidiki Penyebab Kematian Elviana