Perppu Pilkada dan Kisah Pontius Pilatus


Sejarah Pontius Pilatus

Pontius Pilatus, nama yang selalu disebut-sebut dalam kredo atau “pernyataan kepercayaan” agama Katolik dan Protestan adalah seorang gubernur Yudea, salah satu wilayah jajahan Roma. Konon dahulu kala, Roma sedang dilanda kisruh politik, ada seseorang yang kejam sangat berambisi menjatuhkan Kaisar Tiberius penguasa Roma. Orang yang sangat ambisius tersebut adalah Sejanus, seseorang yang sebelumnya telah berjasa membawa Pontius Pilatus dalam kancah politik Roma, dialah yang membesarkan karir politik Pilatus. Sejarah kemudian membuktikan bahwa kaisar Tiberius berhasil membasmi gerakan Sejanus, dampaknya adalah posisi Pontius Pilatus sebagai Gubernur Yudea terancam, karena Pilatus dianggap orang dekat Sejanus. Pilatus akhirnya ketakutan untuk membuat kebijakan, ia ketakutan tindakannya akan membuat marah Kaisar dan keluarganya dibunuh.

Dalam kondisi seperti itulah tiba-tiba di Galilea muncul seorang nabi bernama Yesus. Pilatus yang tidak percaya dewa-dewi Yunani dan mitos tersebut awalnya menganggap enteng sang nabi yang tampaknya tak memiliki ambisi politik itu. Namun lama-kelamaan  pengaruh Yesus mulai masuk ke Yudea dan meresahkan orang Yahudi di sana karena dianggap menghujat Allah, Yesus dituduh telah mempengaruhi rakyat untuk melawan kekuasaan yang telah “berselingkuh” dengan kaum farisi atau dewan agama, dianggap mempengaruhi rakyat untuk tidak membayar upeti-upeti.

Pontius Pilatus secara terbuka sebenarnya sudah menyatakan tidak menemukan kesalahan apapun pada Yesus. Rakyat yang telah dipengaruhi oleh dewan agama dan orang dekat kaisar terus mendesak Pilatus untuk segera menyalibkan Yesus. Pilatus tetap berkelit, dan menyerukan agar rakyat yang telah “khilaf” mengajukan tuntutan tersebut kepada Herodes Antipas, Gubernur Galilea tempat Yesus berasal. Herodes kemudian mengembalikan kasus tersebut kepada Gubernur Yudea, Pontius Pilatus, dengan alasan bahwa warga Yudea yang dipengaruhi oleh Yesus dan menyebut Pontius Pilatus adalah orang yang menetapkan aturan bahwa segala keputusan tentang hukuman mati harus diputuskan oleh Gubernur, bukan oleh dewan agama yang biasanya menjadi pengadil pada masa itu.

Akhirnya, saat Yesus dibawa kembali kepada Pilatus, dengan suatu ritual yang sangat terkenal dengan istilah “cuci tangan” Pilatus mengambil semangkuk air dan mencuci tangannya dan mengucapkan “saya tidak terlibat dalam penyaliban ini” Pilatus menyerahkan Yesus untuk disalibkan. Pilatus cuci tangan. Tindakan Pilatus ini sebenarnya adalah perbuatan “cari selamat” dari dua kelompok dominan, Kaisar dan dewan agama yang atas nama Rakyat menuntut Yesus disalibkan.

Tindakan “cari selamat” ini seringkali kita temukan dilakukan oleh pejabat-pejabat publik yang ingin mempertahankan posisi atau kehormatannya, meskipun harus mengorbankan orang lain, kadang-kadang dilakukan untuk menutup dosanya sendiri. Seandainya Pilatus bertahan untuk menolak menyalibkan Yesus, maka rakyat tentu tidak bisa berbuat lain, karena pasukan bersenjata ada dibelakang Pilatus. Namun Pilatus kemudian memutuskan untuk mengikuti kehendak rakyat yang sudah dipengaruhi oleh dewan agama, lagi pula, Pilatus takut diusir Kaisar karena kedekatannya dengan Sejanus yang sudah lebih dulu dilucuti kekuasaanya oleh Kaisar, itu semua terjadi pada sekitar tahun 33 Masehi.

Pilatus abad 21?

Pada abad 21, kisah Pontius Pilatus seakan-akan terulang lagi, sejarah selalu berulang, demikian ungkapan para filsuf dahulu kala. Meskipun kisahnya tidak persis sama, namun sejarah selalu mengingatkan kita bahwa kisah-kisah modern adalah pengulangan masa lalu. Baru-baru ini, sekelompok Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang sudah terpengaruh dan terpolarisasi dalam Pilpres 2014 merasa terancam dengan kemenangan Jokowi, seorang politisi yang tengah bersinar ditengah-tengah kawah politik Indonesia.

Dewan Perwakilan Rakyat yang telah berkoalisi dengan partai pengusung Capres yang dikalahkan Jokowi mengeluarkan kebijakan mencabut hak rakyat untuk memilih langsung Kepala Daerahnya mulai dari Bupati/Walikota sampai Gubernur, mengubahnya menjadi pemilihan melalui DPRD. Bahkan dengan pongahnya sebagian dari dewan tersebut telah menyampaikan wacana bahwa Pemilihan Presiden juga sebaiknya dipilih oleh DPR, tidak lagi dipilih secara langsung oleh rakyat. Rakyat dengan mudah menebak rencana mereka selanjutnya, menghapuskan Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK, yang selama ini telah menjadi superbody yang getol menangkapi wakil rakyat yang merangkap pekerjaan sebagai koruptor.

Dewan agama yang mempengaruhi rakyat pada masa Pilatus, pada masa modern ini diperankan oleh sekelompok Dewan Perwakilan Rakyat yang bergaya relijius dan seakan-akan berpihak pada rakyat, padahal berlumuran dengan dugaan kasus-kasus korupsi, Ketua KPK Abraham Samad bahkan telah menyesalkan adanya pimpinan dewan yang sarat dengan dugaan korupsi. Para wakil rakyat ini sebenarnya sedang ketakutan, jika Jokowi presiden maka mereka akan kesulitan untuk “berselingkuh” dengan modal dan Pemerintah, dan sulit menyembunyikan borok korupsinya selama ini.

Jokowi yang dimenangkan rakyat melalui Pemilihan Presiden langsung memang sangat fenomenal, dia mengalahkan calon yang ambisius menjadi Presiden melalui belanja iklan yang mahal, bahkan sampai melatih ribuan orang dengan pendidikan ala fasis. Apakah Calon Presiden yang ambisius ini dapat dianggap mirip Sejanus modern?.

Yesus sebenarnya dapat dipahami sebagai simbol daripada rakyat yang rindu akan perubahan, bosan dengan praktek kejahatan dan memimpin perlawanan rakyat pada masa Pilatus. Saat ini, rakyat sedang dicabut hak politiknya, dan dituduh menghabiskan anggaran negara hanya untuk memilih secara langsung kepala daerahnya. Dengan alasan itu, rakyat harus dihentikan hak memilih kepala daerahnya, karena tidak memilih Sejanus modern. Rakyat marah, rakyat melawan, berencana menggugat Undang-Undang Pilkada melalui DPRD tersebut. Semangat Yesus untuk melakukan perubahan diperankan oleh rakyat yang sedang dicabut hak politiknya tersebut. Pertanyaan selanjutnya adalah, siapakah yang sedang memerankan Pontius Pilatus pada drama UU Pilkada?

Perppu Pilkada adalah “cuci tangan SBY”?

Undang-Undang Pilkada yang direkomendasikan oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY yang mencabut hak politik rakyat untuk memilih langsung Kepala Daerahnya akhirnya diputuskan melalui voting yang membuktikan bahwa koalisi merah putih, pendukung Pilkada melalui DPRD seperti PAN, PKS, PPP, Golkar, dan Gerindra, menang dengan 256 suara. Sedangkan tiga fraksi pendukung pilkada langsung, yakni PDI Perjuangan, PKB, dan Hanura, hanya memperoleh 135 suara. Partai Demokrat yang memiliki 145 kursi di DPR periode 2009-2014 ternyata telah melakukan walk out, Demokrat hanya menyisakan enam suara yang menyatakan mendukung Pilkada langsung sehingga memungkinkan Koalisi Merah Putih untuk memenangkan voting terkait UU Pilkada melalui DPRD.

Ditengah-tengah kisruh rakyat dengan hasil keputusan DPR tersebut, muncullah SBY dengan mimik yang serius dan kata-kata yang sudah banyak diduga oleh pengamat amatiran maupun yang profesional. SBY menyatakan bahwa ia tidak menyetujui keputusan DPR yang memutuskan Undang-Undang Pilkada melalui DPRD tersebut. SBY kemudian menegaskan bahwa kebijakan “walk out” bukan merupakan perintahnya, ia dengan tegas menyatakan agar seluruh kader Demokrat “all out” mendukung Pilkada langsung, bukan “walk out”, suatu jurus semantik yang hebat.

“Drama politik” dilanjutkan, pada tanggal 2 Oktober 2014,  SBY kemudian menandatangani dua Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) sekaligus tentang Pilkada langsung‎. Perppu yang dikeluarkan antara lain, Perppu no 1 Tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati dan walikota. Perppu itu sekaligus mencabut UU no 22 tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati dan walikota yang mengatur pemilihan kepala daerah tidak langsung oleh DPRD. Kedua, Perppu no 2 tahun 2014 tentang perubahan UU No 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah yang isinya menghapus tugas dan wewenang DPRD untuk memilih kepala daerah.

Apakah SBY cuci tangan dengan mengeluarkan Perppu tersebut? Bisa ya, karena Perppu yang dikeluarkan Presiden tidak otomatis berlaku tanpa adanya persetujuan DPR RI. DPR saat ini dikuasai oleh mayoritas Koalisi Merah Putih pendukung Pilkada melalui DPRD. Akhirnya DPR yang akan memutuskan menerima atau menolak  Perppu Presiden SBY tersebut. Dengan kata lain, SBY telah menunjukkan kehendaknya untuk menolak Pilkada melalui DPRD, kini palu ada pada DPR RI, yang dikuasai oleh KMP. Suatu kisah heroik tentang Presiden yang tengah “membuktikan” keberpihakannya kepada rakyat yang mengingatkan kita pada kisah klasik Pontius Pilatus.

dimuat di kompasiana 04 Oktober 2014 16:45:57

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Profil Kantor Hukum Ranto Sibarani, S.H. & Rekan

Merasa Dijebak, Keturunan Marah Halim Harahap, marah dan lakukan Perlawanan Hukum

Kuasa Hukum Pertanyakan Motif Direktur PT KIM Penjarakan Toga Damanik