Badan Otorita Danau Toba, Siapa Untung Siapa Buntung?

Setelah sekian lama mati suri, pembangunan kawasan pariwisata Danau Toba akhirnya menggeliat bangun, kenapa menggeliat?, karena belum sepenuhnya bangun. Program Pemerintah dalam membangun Kawasan Danau Toba melalui pembentukan Badan Otorita Danau Toba (BODT) sudah dicanangkan, tidak tanggung-tanggung, lima menteri langsung datang melakukan koordinasi untuk “membangunkan” Danau Toba. Kawasan Danau Toba menjadi Pilot project Badan Otorita untuk 10 destinasi prioritas tahun 2016 yang ditetapkan pemerintah. Badan otorita lainnya akan dibentuk di sembilan destinasi lain yakni di Tanjung Kelayang, Kepulauan Seribu, Tanjung Lesung, Borobudur, Bromo Tengger Semeru, Mandalika, Wakatobi, Labuan Bajo dan Pulau Morotai.

Lantas yang menjadi pertanyaan berikutnya, “Siapakah yang akan beruntung dan siapa yang akan buntung dalam era Badan Otorita Danau Toba?” Sebagaimana kita ketahui, pemerintah telah mengalokasikan anggaran pembangunan infrastruktur kawasan Danau Toba sebesar Rp 21 Triliun. Rinciannya, sebesar Rp 10 Triliun bersumber dari APBN dan sisanya dengan menggandeng pihak swasta untuk ikut dalam membangun destinasi wisata Sumatera Utara. Roda pembangunan yang sedang berjalan ke kawasan Danau Toba tersebut pastinya akan sampai. Mampukah rakyat menghindar dan mengambil keuntungan dari kencangnya laju roda pembangunan tersebut? Mampukah rakyat kawasan tersebut menghindari kebuntungan dari tergilasnya roda tersebut? Semua itu tergantung dari kesiapan masyarakat lokal dan Pemerintah lokal dalam mempersiapkan masyarakatnya. Pemerintahan Presiden Joko Widodo menginginkan rakyat dikawasan tersebutlah yang mendapat keuntungan terbesar dari proyek tersebut.

Pembentukan Badan Otorita tersebut merupakan akumulasi setelah melihat keterpurukan pembangunan Kawasan Danau Toba dan pertumbuhan sektor pariwisata yang selama ini terkesan lamban dan tidak terkoordinasi. Sebagaimana kita ketahui, sebanyak 7 Kabupaten memiliki kawasan danau toba. Menyatukan persepsi 7 pemerintah di kawasan tersebut bukanlah hal mudah. Untuk itu, meminjam istilah Mangadar Situmorang, Rektor Universitas Parahyangan sebagaimana diterbitkan Harian Kompas pada 10 Februari 2016, BODT adalah badan yang akan melakukan koordinasi, akselerasi dan eksekusi amanat-amanat konstitusi, nawacita dan janji Presiden Joko Widodo.

Tantangan

Kawasan Danau Toba sebagai tujuan wisata tentulah tidak akan menarik jika tidak ada penghuninya. Masyarakat lokal yang saat ini mendiami kawasan tersebut secara umum di dominasi oleh masyarakat adat yang dijuluki “Orang Batak” oleh Belanda, karena sifatnya yang keras. Masyarakat adat ini adalah daya tarik utama selain Danau Toba yang bersifat statis, tidak bergerak, namun keindahannya sudah sangat tersohor sampai ke negeri Eropa, jangan mati sebelum ke Danau Toba, begitu pesan mereka yang pernah kesana kepada rekan senegaranya di Eropa sana.

Menurut pengakuan salah seorang pelaku pariwisata yang sudah sangat berpengalaman dalam dunia pariwisata, paling lama seorang wisatawan menghabiskan waktu 2 jam untuk memandangi suatu kawasan wisata, setelah itu dia akan menghabiskan waktunya berhari-hari untuk menikmati seni budaya yang hidup ditengah-tengah masyarakat yang tinggal di kawasan pariwisata tersebut, menikmati kesenangan lain yang ditawarkan oleh manusia kawasan terebut. Siapkah kita menawarkan kesenangan yang dicari oleh para wisatawan tersebut? Mau tidak mau, siap tidak siap, masyarakat harus menerima kehadiran semua yang ditawarkan oleh dunia pariwisata di kawasan Danau Toba. Masyarakat kawasan Danau Toba yang masih kuat tatanan adatnya harus menyiapkan diri, membentengi tatanan adatnya masing-masing tanpa menghalangi faktor ikutan  dalam pembangunan kawasan tersebut. Faktor ikutan  ini bisa saja berupa budaya modern, budaya hidup bebas, budaya persaingan, meningkatnya angka kriminal, masuknya produk minuman keras, musik keras dan sex bebas terbatas, itulah tantangan yang harus dihadapi.

Untuk menghadapi tantangan tersebut, membangun kawasan Danau Toba  haruslah diikuti dengan gerakan yang seimbang dalam rangka menyiapkan masyarakat lokal untuk membentengi diri dan tatanan adatnya tanpa mengurangi promosi pariwisata tadi. Anda bisa melihat bagaimana masyarakat Bali menjalankan ritual agama dan kepercayaannya tanpa terganggu dengan wisatawan yang sedang asyik diseberangnya dengan bebas bermabuk ria, berpelukan dalam suasanan hingar bingar musik, berpakaian sesuai dengan gaya kesukaannya, minim.

Siapkah kita dengan kondisi tersebut? Sebagian kita meragukan diri, pesimis jangan-jangan budaya adat kita tergerus oleh arus modernisasi yang menumpang dalam pembangunan pariwisata tersebut. Namun jika kita terus menerus pesimis, kita tidak akan pernah siap menghadapi kencangnya laju arus peradaban. Ibarat cita-cita ingin ke bulan, tapi kita sibuk belajar bagaimana caranya berenang. Demikianlah halnya jika kita ingin membangun kawasan pariwisata Danau Toba tapi kita sibuk pesimis dengan tergerusnya tatanan adat.

Oleh karena itu, pembangunan kawasan Danau Toba harus terlebih dahulu dimulai dengan pemberdayaan masyarakat lokal agar mampu berebut  kue pembangunan tanpa merusak tatanan adatnya. Memberikan ruang gerak yang luas kepada masyarakat berpartisipasi dalam gerakan pembangunan era badan otorita, mengedepankan promosi budaya lokal, menegaskan aturan untuk perlindungan masyarakat adatnya adalah suatu gerakan yang menjauhkan kebuntungan masyarakat lokal dari pembangunan. Tidak memberikan peranan yang dominan kepada masyarakat adatnya dalam pembangunan suatu kawasan adalah suatu upaya yang akan sia-sia. Anda bisa membayangkan apa yang terbangun jika suatu kawasan wisata tidak didukung oleh masyarakat lokalnya, hubungan yang terbangun antara wisatawan dan masyarakat adalah hubungan yang saling merugikan, kebuntungan sosial.

Seorang Teolog bernama Anthony de Mello pernah bercerita bahwa, konon ada seorang pasien yang berobat kepada dokter karena menderita demam yang sangat tinggi. Setelah minum obat yang diberikan dokter tadi, dia tidak juga sembuh. Akhirnya dia kembali dan berkata kepada si dokter “Tidak bisakah engkau berbuat sesuatu agar aku sembuh?”  si dokter menjawab dengan tenang, “pulanglah, mandilah dengan air panas, sebelum mengeringkan diri, berdirilah ditempat aliran angin, telanjang bulat”.  Lalu si pasien bertanya “Apakah itu akan menyembuhkan saya?”. Dokter tersebut menjawab, “Tidak, tapi itu akan membuatmu sakit radang paru-paru, saya dapat menyembuhkannya”.

Jika cerita tersebut dikaitkan dengan BODT, jangan sampai era BODT ini nantinya tidak menyembuhkan “penyakit” yang sebenarnya diderita oleh masyarakat di kawasan tersebut. Jangan-jangan nantinya BODT menjadi penyakit yang dibawa oleh pemerintah dan investor ke kawasan Danau Toba, dan akhirnya pemerintah sibuk dengan penyakit yang dibuatnya sendiri, sibuk menangani praktek korupsi, kolusi dan penyakit AIDS sebagai dampak pariwisata daripada memberikan kesejahteraan dan kemakmuran bagi masyarakat kawasan Toba.

Penyakit yang diderita oleh masyarakat Kawasan Danau Toba saat ini adalah timpangnya kesejahteraan, kawasannya dirusak, sungainya dikeringkan, pohon kemenyannya ditebangi perusahaan pulp, Danau Tobanya dicemari ratusan ribu ton pakan ikan keramba apung, dicemari kotoran ternak babi dan penduduknya masih tertinggal secara ekonomi. Itulah penyakit yang sesungguhnya. BODT harus mampu “memulihkan” kondisi masyarakat adat tersebut, menghilangkan penyakit yang sebenarnya tersebut, jangan sampai memberikan obat yang salah karena analisis yang salah.

Rekomendasi

Untuk itu, menjadikan peranan masyarakat adat sebagai sentral dalam pembangunan kawasan Danau Toba adalah hal yang harus dilakukan. Melibatkan masyarakat adat dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi BODT mutlak diperlukan. Sehingga jika ada pertanyaan dimana posisi rakyat dalam era Badan Otorita Danau Toba? Jawabannya, posisi rakyat adalah di atas “roda pembangunan” tersebut. Rakyatlah yang seharusnya menggerakkan roda pembangunan tersebut, jangan sampai rakyat hanya menjadi komoditas. Rakyat harus dimampukan dan dibangun kemampuannya dalam menggerakkan seni, budaya, menjaga dan menjalankan adat istiadatnya, menjaga lingkungan hidupnya dan menjadikan itu semua sebagai penggerak pembangunan, penggerak ekonomi di Kawasan Danau Toba.

Tujuh Pemerintah Kabupaten yang memiliki Kawasan Danau Toba memegang peranan penting dalam menguatkan peranan rakyatnya masing-masing dalam menyongsong era BODT. Pemerintah Kabupaten harus mampu menangkap program pemerintah yang sedang membangun dari desa. Pembangunan dari desa yang diikuti dengan anggaran dana desa yang sangat besar saat ini harus didorong oleh pemerintah lokal untuk memandirikan masyarakatnya masing-masing dalam rangka menghadapi tantangan era otorita. Pemerintah Kabupaten, organisasi non pemerintah, kelompok adat dan organisasi rakyat harus menyiapkan masyarakatnya masing-masing untuk masuk dalam kelompok yang beruntung dalam proses pembangunan tersebut. Jika tidak, maka yang meraup keuntungan besar dari proyek di Kawasan tersebut tentulah hanya pebisnis pariwisata yang di dominasi oleh pengusaha di Jakarta, pemilik maskapai transportasi, pemilik perhotelan, kontraktor pembangunan jalan, pebisnis money changer dan bank. Kita semua bertanggungjawab untuk melindungi masyarakat lokal dari kebuntungan proyek pembangunan kawasan Danau Toba yang dirancang oleh pemerintah pusat untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat di kawasan tersebut. ***
Ditulis oleh Ranto Sibarani


Tulisan ini pernah dimuat di Harian Analisa pada tanggal 24 April 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Merasa Dijebak, Keturunan Marah Halim Harahap, marah dan lakukan Perlawanan Hukum

Kuasa Hukum Pertanyakan Motif Direktur PT KIM Penjarakan Toga Damanik

Disangsikan Bunuh Diri, Kepolisian Diminta Selidiki Penyebab Kematian Elviana