Politik dan Demokrasi di Indonesia Menjelang Pemilu 2014 “Ahli menghitung sapi tapi sulit menghitung DPT”


Pengantar
Pengertian politik sesuai dengan kamus besar bahasa Indonesia adalah: Pertama, Pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan seperti sistem pemerintahan, dasar pemerintahan. Kedua, segala urusan dan tindakan mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain. Ketiga, cara bertindak dalam menghadapi atau menangani suatu masalah.
Dari pengertian diatas, secara sederhana sebenarnya kita bisa menyimpulkan bahwa politik adalah pengetahuan tentang bagaimana negara mengatur, menghadapi dan menangani  masalah yang terjadi ditengah-tengah warga negaranya. Apolitik adalah tidak melek politik dapat kita artikan sebagai suatu sikap yang tidak mau tahu tentang negara dan warga negaranya. Pemilu adalah politik negara untuk mengatasi terlalu dominannya suatu kelompok dalam menjalankan kekuasaan tersebut.
Melalui pembagian kekuasaan yang dilakukan oleh suatu negara, akan terlihat sistem politik yang digunakan. Sistem politik demokrasi adalah sistem politik berkedaulatan rakyat yang pembagian kekuasaannya dilakukan melalui pemilihan umum. Pengertian Demokrasi yang paling umum adalah sesuai dengan yang disebutkan oleh Abraham Lincoln (1860-1865) yaitu suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Setidak-tidaknya terdapat tiga kutipan dari UUD 1945 yang dapat dijadikan rujukan mengenai sistem politik yang dikehendaki para founding fathers Indonesia. Pertama, alinea keempat Pembukaan UUD 1945 menyatakan “kemerdekaan Kebangsaan Indonesia……yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat….”
Kedua, sila keempat Pancasila, yaitu “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.”  Ketiga, Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”
Kalau Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 mengatakan “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”, lantas apakah UUD 1945 sudah menentukan secara lengkap apa yang dimaksud dengan kedaulatan rakyat (sistem politik demokrasi)? Setelah mengalami perubahan sebanyak empat kali, masing-masing tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002, UUD 1945 memang sudah menentukan sebagian prinsip dan unsur sistem politik demokrasi, namun sebagian lagi belum disebutkan.
REALITAS DEMOKRASI DAN PEMILU 2014.
Posisi rakyat dalam politik dan demokrasi  adalah sebagai pemegang mandat tertinggi yang berdaulat melalui sistem perwakilan yang dihasilkan oleh suatu pemilihan umum. Karena itu, rakyat harus terlibat aktif dalam pemilihan umum yang bertujuan untuk menentukan wakil-wakil dari pemegang kedaulatan tersebut. Ironisnya, masyarakat saat ini banyak yang tidak percaya dengan sistem pemilu kita, ketidak percayaan ini menyebabkan partisipasi rakyat yang menurun terhadap pemilu. Pemilu yang semakin tidak diminati oleh rakyat tersebut tercermin dari partisipasi pemilih yang terus menurun, pada pemilu pertama Indonesia di era reformasi, yaitu Pemilu 1999, partisipasi pemilih mencapai 92,74 persen. Angka itu menurun pada Pemilu 2004 menjadi 84,07 persen. Pada Pemilu 2009, partisipasi terus merosot menjadi hanya 71 persen.
Pemilu Legislatif yang akan diselenggarakan pada tanggal 9 April 2014 nanti masih menjadi perdebatan apakah menjadi pemilu yang berdaulat rakyat atau hanya akal-akalan pemerintah yang berkuasa untuk sekedar memenuhi Undang-Undang yang mengamanatkan untuk melakukan Pemilu sekali dalam lima tahun. Perdebatan tersebut mengemuka sejak penyelenggara Pemilu/KPU dituduh tidak konsisten dalam menetapkan DPT (Daftar Pemilih Tetap), sejak terbongkarnya skandal perbankan menjelang pemilu diselenggarakan dan sejak terendusnya dugaan kecurangan dalam IT KPU pemilu 2004 yang lalu.
1. Skandal-skandal Pemilu
Permasalahan Daftar Pemilih Tetap (DPT) terlihat jelas menjelang Pemilu Legislatif 2009 dan menjelang Pemilu 2014. Menjelang Pemilu 2014, KPU belum pernah menjawab secara jelas soal keanehan angka DPT 186 juta yang lebih tinggi 10 juta dengan proyeksi jumlah penduduk pemilih versi DAK Depdagri 176 juta. Menurut BPS jumlah penduduk yang sudah berumur 17 tahun di seluruh Indonesia paling tinggi 70 persen dari jumlah penduduk, maka secara nasional jumlah pemilih adalah sekitar 176 juta atau 70 persen dari jumlah penduduk yang jumlahnya 251 juta.
Persoalan DPT ini sebenarnya sesuatu yang sangat menggelikan di era digital saat ini, apalagi Indonesia sudah menerapkan e-KTP, untuk apa dana yang cukup besar untuk program e-KTP jika hasilnya tidak bisa digunakan untuk menghitung pemilih dalam pemilu? Sebagaimana kita ketahui, proyek e-KTP ini menelan biaya sebesar RP. 6.3 Triliun, dan dicurigai sebagai salah satu proyek korup yang turut melibatkan nama Anas Urbaningrum yang sebelumnya menjabat sebagai anggota KPU Pusat pada pemilu 2004, dan selanjutnya dengan mudah menjabat sebagai Ketua Umum Partai Demokrat pada tahun 2010, yang dituduh oleh Nazaruddin menang dengan politik uang.
Persoalan DPT ini menjadi ironi ketika terungkapnya korupsi sapi import oleh politisi kita, bagaimana tidak, politisi yang diadili karena korupsi sapi tersebut menggunakan basis data Badan Pusat Statistik untuk dapat memperkirakan bahwa jumlah sapi yang ada di negara kita akan mengalami defisit, sehingga harus melakukan import, mereka pintar sekali menggunakan data sebagai justifikasi import sapi. Dengan kata lain, pemerintah kita saat ini lebih ahli menghitung sapi daripada menghitung manusia (baca: DPT).
Skandal kejahatan perbankan selalu terjadi menjelang pemilu dilakukan, menjelang Pemilu 1992 ada skandal Bank Duta yang kalah valas, menjelang pemilu akhir Orde Baru tahun 1997 ada skandal BLBI, menjelang Pemilu 2004 ada skandal perampokan bank BNI, dan issu terakhir saat ini yang belum juga terungkap adalah skandal Bank Century yang dicurigai berhubungan dengan Pemilu 2009. Pada Pemilu 2009, SBY menggandeng Boediono yang sebelumnya tidak pernah masuk bursa sebagai Calon Wakil Presiden. Belakangan nama Boediono santer disebut dalam perkara Bank Century, semua skandal tersebut tidak tuntas sampai kepada aktor intelektualnya, sesuatu yang membuat Pemilu layak dicurigai tidak berdaulat rakyat.
Belum lagi tuntas kasus IT KPU pada pemilu 2004 yang lalu yang dicurigai ikut menentukan kemenangan SBY, saat ini kita malah dibingungkan dengan rencana terlibatnya Lemsaneg (Lembaga Sandi Negara) dalam IT pemilu 2014. Namun, karena kerasnya kecaman masyarakat sipil menolak keterlibatan Lemsaneg dalam IT KPU, maka akhirnya MoU yang melibatkan Lemsaneg mengelola IT KPU dibatalkan. Meskipun demikian masyarakat sipil sudah terlanjur menganggap bahwa itu sebagai bentuk intervensi pemerintah berkuasa yang ingin menentukan hasil pemilu 2014.
2. Perubahan Sistem Pemilu 2014
Kelemahan demokrasi di Indonesia adalah belum berdampaknya demokrasi bagi kesejahteraan rakyat, titik masalahnya ada pada bangunan sistemnya. Itu sebabnya aturan main (sistem) dalam Pemilu di Indonesia terus dirubah dari waktu ke waktu. Perubahan tentu saja dilakukan dengan niat untuk mencapai kesempurnaan dalam penyelenggaraan Pemilu. Bagi sebahagian orang pilihan kebijakan incremental (tambal sulam) dengan melalui perubahan sistem (aturan, penambahan kelembagaan/funngsinya) masih menjadi pilihan utama.
Pada lapangan sistem politik demokrasi kita dapat dengan mudah mengikuti perubahannya, seperti yang dapat kita lihat pada Pemilu 2014 tentang PARPOL, dimana dilakukan perubahan aturan main seperti:
· Syarat pendirian pendaftaran parpol sebagai peserta pemilu (meingkat/semakin berat)
· Peserta Pemilu yang diikuti 12 Parpol (menurun),
· Jumlah ambang batas parlemen sebesar 3.5 % (meningkat),
· Jumlah sumbangan dana pribadi & lembaga (meningkat)
· Sejumlah perubahan aturan tekhnis yang dilakukan oleh KPU
Tabel Perubahan Kebijakan Tentang Partai Politik
PERUBAHAN
UU 2/1999
UU 31/2002
UU 2/2008
UU 2/2011
Syarat Pendirian
50 org usia 21th dg akte notaris
50 org usia 21th dg akte notaris
50 orang usia 21 th
30% Perempuan
Didirikan oleh 30 org usia 21 dr setiap Prv
Didaftarkan 50 org wakil dari Pendiri
30% perempuan
Syarat Kepe-ngurusan
Tidak diatur
50% dari Provinsi
50% dari Kab/Kota
25% dari Kec YBS
30% perempuan pst
60% dari Provinsi
50% dari Kab/Kota
25% dari Kec YBS
30% perempuan d pst
75% dari Provinsi
75% Kab/Kt pd Prov
50% Kec pd Kab/Kt
Kantor Tetap sd akhir
Rekening  an. Parpol
Syarat ikut Pemilu
VERIFIKASI administratif dan faktual yang dilakukan oleh Tim Sebelas dan Penyelenggara
ET = 2 % Pemilu 99
Jika tidak sampai 2% Parpol tidak Ikut Pemilu 2004 & ganti nama + verifikasi kembali
PT = 2.5 % utk DPR
Jika kurang dari 2.5 % Parpol tdk punya wakil di DPR 2009
PT = 3.5 %
Jika kurang dari 3.5 % Parpol tdk punya wakil di DPR 2014
Jumlah Partai
48 Parpol
24 Parpol
38 Parpol +               06 Partai Lokal
12 Parpol
Sumber : UU Partai Politik No 2/1999, UU 31/2002, UU 2/2008 dan UU 2/2011
3. Politik Uang yang menjadi Pestisida Politik
Realitas rakyat menjelang pemilu sangat mudah ditebak, rakyat apatis dengan sangat mudah tergiur dengan imbalan uang untuk memilih calon tertentu. Harga imbalan untuk memilih calon tertentu tersebut beragam, pasar politik uang dengan sendirinya terbentuk, tanpa ada unsur malu-malu ataupun takut. Hal ini mungkin saja terjadi karena lemahnya Undang-Undang yang menjerat money politik dan juga lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh Bawaslu Daerah, Panwaslu Kabupaten dan Kecamatan. Hal ini bisa dilihat dengan minimnya laporan Bawaslu/Panwaslu tentang politik uang, kita malah lebih sering mendengar badan ini ribut dengan persoalan Baliho atau Alat Peraga Kampanye saja daripada menjerat pelaku politik uang.
Politik uang ini ibarat pestisida, yang jika disemprotkan, bukan saja merusak rumput hama, namun juga dapat merusak tumbuhan lain yang masih berguna. Calon Legislatif yang selama ini sudah melakukan investasi sosial politik ditengah-tengah masyarakat calon konstituennya menjadi terganggu. Bagaimana tidak, dengan politik uang yang dilakukan oleh Caleg lain yang tiba-tiba saja muncul dengan uang yang menumpuk, memberikan imbalan kepada calon pemilih, mau tidak mau, untuk mengimbangi politik uang tersebut, Caleg yang awalnya bersih dan sudah melakukan banyak investasi sosial politik tersebut harus melakukan politik uang juga.
Menurut pengamatan penulis, masyarakat di beberapa Kabupaten/Kota di Sumatera Utara, ketika disinggung mengenai Pemilihan Calon Legislatif, langsung menanyakan apakah ada uangnya? Pernyataan pertama setelah mendengar kata Caleg adalah “adong do hepeng na?” (Bahasa Batak). Kelatahan ini dengan cepat menyebar, sehingga apa yang baik yang sudah dilakukan oleh Caleg selama ini menjadi sia-sia, mati bersama dengan kebaikan lain yang ditawarkan jika duduk dilegislatif nanti, semua ini karena pestisida yang bernama “politik uang” yang diabaikan oleh penyelenggara pemilu.
Adapun besaran politik uang berdasarkan pengamatan langsung yang penulis lakukan di beberapa Kabupaten/Kota besarnya beragam. Untuk calon DPRD Kabupaten/Kota angkanya sekitar Rp. 200.000 s/d  Rp. 400.000,- model pemberiannya bisa sampai dua atau tiga kali, bahkan ada yang sudah diberikan pada saat menyambut natal Desember 2013 yang lalu. Untuk Caleg DPRD  Provinsi masyarakat mengaku ada yang medapatkan Rp. 10.000 s/d Rp. 100.000. Untuk memilih calon DPR Pusat ada yang mendapat imbalan sebesar Rp. 10.000 s/d Rp. 50.000,-  Semua imbalan tersebut belum termasuk dengan berbagai souvenir dan menu yang disediakan dalam berbagai pertemuan. Politik uang ini memang tidak terlihat, (maaf) bagaikan kentut, kita hanya mencium baunya, tanpa bisa melihat wujudnya.
Racun politik uang ini tentu tidak muncul begitu saja, rakyat sepenuhnya sadar, bahwa suaranya sangat berharga, tidak peduli dia petani, buruh, dokter, pendeta, guru dan lain lain semua harga suaranya sama, demokrasi telah menyempurnakan sistem kesamaan suara tersebut. Karena kesadaran tersebut, rakyat yang sudah dibiasakan dengan dana jaringan pengaman sosial atau yang lebih dikenal dengan dana Bantuan Langsung Tunai (BLT), -yang mengiringi kemenangan pemerintahan SBY- tentu akan ketagihan dengan konsep uang tunai tersebut. Hal inilah yang memupuk bakat politik uang rakyat yang dengan sendirinya menentukan harga suaranya dalam pemilu tersebut. Pada akhirnya, kita harus mengakui bahwa Negara terlibat aktif meracuni rakyat dengan politik uangnya.
4. Pemilu di Sumatera Utara
Rakyat Sumatera Utara malah mulai terlihat bosan atau terkesan tidak percaya dengan Pemilu. Hal ini terlihat dari minimnya partisipasi pemilih dalam beberapa Pilkada yang dilakukan di Sumatera Utara. Partisipasi pemilih untuk gubernur Sumatera Utara tahun 2013 yang tidak sampai 50% membuktikan bahwa masyarakat Sumut sudah mulai apatis terhadap pemilihan umum. Bahkan pemilih pada Pilkada Deli Serdang yang hanya 35% menunjukkan bahwa rakyat Sumut mulai tidak perduli terhadap Pemilu. Hal ini adalah ancaman bagi Demokrasi di Sumatera Utara dan bukti tidak percayanya publik terhadap Pemilu.
Dengan rendahnya partisipasi publik terhadap Pemilu, maka pemimpin atau wakil rakyat yang lahir dari proses Pemilu tersebut sangat diragukan. Rilis PPATK soal 69,7% anggota legislatif terindikasi korupsi  merupakan bukti bahwa Pemilu yang tidak dipercaya publik hanya menghasilkan wakil rakyat yang berwatak korup.
Penyelenggara pemilu menjadi salah satu penentu partisipasi pemilih dalam pemilu. Namun, sejak tahun 1999, penyelenggara pemilu sudah kerap terjerat dalam kubangan korupsi dan banyak dugaan penyelenggara pemilu bermain mata dengan peserta pemilu dalam hal ini partai politik. Hal ini diperkuat dengan masuknya beberapa anggota teras KPU pusat dalam Partai Politik dengan sangat mudahnya, bahkan langsung menempati posisi strategis di Partai Politik, hal tersebut tentu menimbulkan kecurigaan bahwa ‘main mata’ sudah lama dilakukan sebelum pemilu dimulai. Kenyataan-kenyataan diatas menambah apatis rakyat untuk terlibat dalam Pemilu. Rakyat yang apatis inilah yang akhirnya sangat mudah tergoda dengan politik uang yang ditawarkan oleh Calon tertentu.
PERANAN MASYARAKAT DALAM PEMILU 2014.
Pertama, masyarakat harus berani memperjuangkan dan menyuarakan pikiran-pikirannya terkait pemilu 2014. Organisasi merupakan alat perjuangan dalam menuntut hak-hak dan memperjuangkan aspirasi masyarakat dalam memajukan proses demokrasi melalui sistem pemilu yang berlaku saat ini. Meskipun sistem pemilu sekarang dituduh sebagai proses akal-akalan karena mudahnya mempelintir jumlah DPT dan peluang kecurangan yang masih tinggi, namun masyarakat harus tetap terlibat aktif untuk mengakhiri akal-akalan tersebut.
Kedua, masyarakat harus mampu mengidentifikasi calon-calon yang bertarung dalam pemilu 2014. Kemampuan mengidentifikasi calon tersebut harus diikuti dengan gerakan nyata mendukung dan mempengaruhi orang lain untuk memilih calon tersebut. Kriteria sederhana yang bisa diterapkan adalah, pilihlah calon yang selama ini sudah bekerja untuk kepentingan atau hak-hak rakyat, memiliki latar belakang yang jelas keberpihakannya kepada rakyat tertindas dan memiliki program kerja yang terencana dan sangat menguntungkan rakyat dibandingkan menguntungkan dirinya sendiri, kelompok pengusaha atau penguasa.
Ketiga, membangkitkan perlawanan masyarakat dalam memerangi politik uang, politisi busuk, apatisme dan melawan pemimpin yang menindas rakyatnya.Masyarakat harus teguh dalam mempertahankan prinsipnya untuk menolak politik uang dan menolak menggunakan nilai-nilai primordialisme dalam menentukan pilihan. Prinsip ini harus selalu dikampanyekan kepada siapa saja yang terindikasi telah menjadikan uang sebagai alat pemicu memilih. Menolak politik uang akan menjadikan masyarakat tetap berani menyuarakan pikiran kritisnya dalam membela hak-haknya dan memajukan negara. Perlawanan yang sederhana misalnya dengan menyebarkan istilah berikut um arga do ulu ni horbo sian uluni jolma” artinya “lebih mahal kepala kerbau daripada kepala manusia” hal ini untuk membuat masyarakat yang menerima uang sadar bahwa kepalanya telah dibeli senilai uang yang diterimanya yang sebenarnya jauh lebih murah daripada uang untuk membeli kepala kerbau.
Keempat, masyarakat harus mampu memahami tahapan pemilu dan memahami hal-hal apa saja yang harus diawasi dalam setiap tahapan pemilu tersebut. Dengan adanya perhatian masyarakat dalam mengawasi pemilu, maka potensi kecurangan pemilu akan dapat di reduksi. Masyarakat memiliki akses yang besar terhadap ruang-ruang pemilu, masyarakat dapat membentuk kelompok-kelompok pemerhati penyelenggaraan pemilu, menyelenggarakan dialog-dialog kepemiluan dan bahkan melakukan gerakan massa untuk merespon sistem pemilu yang dianggap tidak jujur.
Penutup
Pemilu yang masih dipercaya sebagai sarana untuk menyampaikan hak politik, akhirnya tidak dapat dijauhkan dari peranan masyarakat. Masyarakat yang menjadi agen perubahan, selain melakukan gerakan-gerakan kritis diluar parlemen harus turut terlibat juga dalam mempengaruhi hasil-hasil pemilu penentu siapa yang akan duduk di kursi parlemen tersebut. Peran masyarakat yang paling penting dalam pemilu 2014 adalah sebagai penyebar nilai-nilai penting yang kita inginkan tumbuh subur pada pemilu-pemilu yang akan datang.
Meskipun saat ini politik uang, primordialisme, apatisme dan golput  masih menjadi tren yang sepertinya mustahil untuk dihilangkan, namun masyarakat sebagai gerakan inti dari perubahan harus optimis hal tersebut bisa dihilangkan.Masyarakat tidak boleh kehilangan arah dan mengikuti arus yang keliru tersebut. Masyarakat harus sejak dini melakukan pendidikan politik untuk dirinya sendiri dan untuk masyarakat demi terciptanya tatanan masyarakat yang maju, yang tidak mendewakan akumulasi modal atau kekayaan pribadi. Pada akhirnya masyarakat turut berperan dalam menghasilkan proses pemilu yang berkualitas dan tentunya berkedaulatan rakyat.
*) Koordinator Forum Organisasi Non Pemerintah Sumatera Utara untuk Demokrasi (FORSDEM)
Sekretaris Badan Pengurus KontraS Sumatera Utara 2010 – skrng.
Sekretaris Eksekutif Komunitas Untuk Indonesia Baru (KOTIB) 2006 – 2013.
Dirangkum dari berbagai sumber,
Pernah disampaikan sebagai bahan belajar bersama dalam Pelatihan Hukum Kritis/Pokrol di Sopo KSPPM, Parapat,  26-29 Maret 2014.
Pernah disampaikan pada diskusi tematis “Peranan mahasiswa dalam Pemilu 2014″ yang diselenggarakan oleh GMKI FT Unimed dan GMKI FMIPA Unimed pada tanggal 26 Oktober 2013.
Dimuat juga di
http://politik.kompasiana.com/2014/04/08/politik-dan-demokrasi-di-indonesia-menjelang-pemilu-2014-pemerintah-kita-lebih-pintar-menghitung-sapi-daripada-menghitung-dpt-645865.html

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Merasa Dijebak, Keturunan Marah Halim Harahap, marah dan lakukan Perlawanan Hukum

Kuasa Hukum Pertanyakan Motif Direktur PT KIM Penjarakan Toga Damanik

Disangsikan Bunuh Diri, Kepolisian Diminta Selidiki Penyebab Kematian Elviana