Dialog Publik Meneropong Masa Depan Demokrasi di Sumatera Utara Tahun 2013
1. Pengantar.
Paska lengsernya Soeharto pada tahun 1998, Indonesia memasuki
babak baru dalam tata demokrasi pemerintahannya. Kekuasaan yang awalnya
terpusat di Jakarta mulai menyebar ke daerah-daerah. Militer yang sebelumnya
memiliki kuota khusus di Badan Legislatif kini harus rela tinggal di barak dan
perbatasan wilayah dengan negara lain. Penyelenggara pemilihan umum yang
awalnya terdiri dari unsur partai politik, sekarang sudah diselenggarakan oleh
orang-orang yang independent dan harus memiliki integritas.
Sistem pemilu kita juga mengalami perubahan yang cukup
signifikan, dari sistem Proporsional daftar setengah terbuka yang memungkinkan
pemilih mencoblos tanda gambar partai politik dan nama caleg, namun nama caleg
nomor urut 1 yang akan mendapat prioritas atau nomor urutlah yang menentukan,
sekarang telah menjadi sistem proporsional terbuka, dengan kata lain nomor urut
tidak lagi menentukan. Nomor urut dalam sistem pemilu sekarang sudah menjadi
hiasan, dengan kata lain, caleg dengan nomor urut atas dianggap orang yang
sangat berpengaruh di Partai, namun tidak menjadi jaminan akan memiliki suara
terbanyak dari pemilihnya.
Sumatera Utara sebagai salah satu dari 34 propinsi yang ada
di Indonesia cukup layak dijadikan sebagai barometer demokrasi di Indonesia. Di
propinsi yang berpenduduk sebanyak 13.103.596 jiwa (BPS 2012) masyarakatnya sangat heterogen dan memiliki
keunikan tersendiri. Dengan luas wilayah 71 680,68 KM2, dan terdiri
dari 33 Kabupaten/Kota tentulah sangat menarik untuk melihat proses demokrasi
dan masa depannya di propinsi ini.
Maraknya pemenang Pilkada dari incumbent, dan lahirnya
dinasti politik telah menjadi sorotan akhir-akhir ini. Wewenang dan fasilitas
incumbent tentulah tidak hanya sebatas perangkat kantor, namun juga meliputi
kesempatan dalam melakukan pendekatan atau lebih tepatnya “main mata” dengan
penyelenggara pemilihan umum di tingkat Propinsi sampai di tingkat
Kabupaten/Kota. Dugaan-dugaan tersebut tentulah sangat mempengaruhi kualitas
dan kuantitas peserta pemilu dan masyarakat. Sehingga apa yang selama ini
digembar gemborkan sebagai produk demokrasi ternyata berbalik dengan
kepentingan rakyat. Banyak wakil rakyat yang terlibat korupsi, baik wakil rakyat
dari kalangan akademisi, birokrat bahkan dari kalangan penggiat demokrasi di
Organisasi Non Pemerintah, semuanya itu tentulah mesti mendapat perhatian dari
semua kalangan dalam rangka mewujudkan demokrasi yang berkualitas.
Dalam pemilihan calon anggota legislatif (Caleg) pada tahun
2009, kita tentu masih ingat banyaknya Caleg yang berasal dari kalangan aktivis
penggiat demokrasi dan hak asasi manusia di Sumatera Utara. Hasil yang kita
dapatkan cukup mencengangkan. Para caleg yang kita anggap sudah mewakili
masyarakat dan sudah cukup dekat dengan masyarakat selama ini ternyata tidak
mendapat suara yang significant. Hampir seluruh caleg yang direkomendasikan
oleh massa rakyat dan kalangan Organisasi Non Pemerintah tidak ada yang
berhasil duduk di kursi legislative Sumatera Utara. Suatu pukulan yang telak
bagi kalangan yang selama ini mengaku sebagai pejuang demokrasi dan hak-hak
rakyat, namun tidak mendapatkan tempat di hati rakyat untuk menjadi wakilnya di
kursi legislative.
Selain keterlibatan masyarakat dan Ornop, peran KPU menjadi
sangat penting dalam mendorong dan memajukan proses demokrasi. Gonjang-ganjing media dan dugaan saratnya KKN
dalam proses seleksi KPU di Sumatera Utara telah menurunkan citra KPU sebagai
penyelenggara yang bersih, transparan, dan berintegritas. Untuk meyakinkan
masyarakat Sumut, KPU haruslah bekerja keras untuk membuktikan bahwa dugaan
tersebut tidak benar, karena dugaan-dugaan tersebut dapat menimbulkan apatisme
masyarakat pemilih. Sehingga kita tidak heran, partisipasi pemilih semakin lama
semakin menurun. Partisipasi pemilih untuk gubernur Sumatera Utara tahun 2013
yang tidak sampai 50% membuktikan bahwa masyarakat sudah mulai apatis terhadap
pemilihan umum.
Untuk itu, peranan Organisasi Non Pemerintah dalam melibatkan
masyarakat untuk ambil bagian dalam pemilihan umum sangatlah penting. Ornop
yang selama ini kerap melakukan pendidikan politik di tingkat basis menjadi
salah satu peluang untuk memajukan proses demokrasi di Propinsi Sumut. Untuk
itu, selain melihat bagaimana dampak dari sistem demokrasi, kita juga harus
mampu melihat bagaimana peran Organisasi Non pemerintah, penyelenggara pemilu dan
masyarakat dalam menentukan kualitas demokrasi di negara kita khususnya di
Sumatera Utara. Untuk memberikan sumbangan pemikiran yang positif dan
membangun, dalam kerangka demokrasi di Sumatera Utara maka diselenggarakanlah
Dialog Publik ini.
2.
Tujuan
a.
Memberikan
masukan positif dari Kabupaten/Kota untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas
demokrasi di Sumatera Utara.
b.
Mengidentifikasi
dan melihat peluang tokoh-tokoh dari
Organisasi Non Pemerintah dan masyarakat penggiat demokrasi dalam pemilu 2014 di
Sumut.
c.
Berbagi
pengalaman dengan penggerak demokrasi di Sumatera Utara yang pernah dan akan
mengikuti pemilihan calon legislative maupun eksekutif pada tahun 2009 dan
2014.
d.
Menyusun
dan mendokumentasikan pengalaman Organisasi non Pemerintah dan masyarakat
penggiat demokrasi dalam menyongsong pemilu 2014.
3.
Bentuk Kegiatan
a.
Dialog
publik dengan beberapa narasumber.
b.
Tanya
jawab dengan peserta terbatas.
c.
Menyusun
masukan/rekomendasi kepada Penyelenggara Pemilu dan kepada Ornop dan penggiat
demokrasi dalam rangka peningkatan kualitas dan kuantitas demokrasi di Sumatera
Utara.
d.
Rencana
untuk melakukan rangkaian Kegiatan dan Kelompok Diskusi untuk menyusun dan
mendokumentasikan pengalaman, pembelajaran dan kritik dalam menyongsong Pemilu
2014.
4.
Narasumber dan Moderator
1.
Mulia
Banuarea (KPU Sumut), memaparkan tentang persiapan Pemilu 2014, kesiapan data, sosialisasi,
pendidikan dan kendala penyelenggaraan pemilu.
2.
Helen
Napitupulu (Panwas Kota Medan), memaparkan hasil pengawasan persiapan pemilu,
hal-hal yang perlu keterlibatan penggerak demokrasi dalam pengawasan pemilu dan
berbagi pengalaman tentang pengawasan penyelenggaraan Pilkada di Sumatera
Utara.
3.
Nelson
Siregar (Tokoh masyarakat), memaparkan pandangan masyarakat terhadap
perkembangan demokrasi di Sumatera Utara dan potensi penggerak demokrasi dalam
pemilu 2014.
4.
Dadang
Darmawan (Akademisi), memaparkan kajian demokrasi di Sumatera Utara secara
akademis dan kriteria penggerak demokrasi yang layak menuju pemilu 2014.
5.
Sarma
Hutajulu (Politisi), memaparkan tentang pengalaman, kelemahan dan hambatan calon
legislative yang berasal dari penggiat demokrasi di Sumatera Utara.
6.
Sahat
Lumbanraja, Moderator yang mengatur jalannya dialog publik.
5.
Peserta
85 orang peserta yang terdiri dari penggiat
demokrasi dan Organisasi Non Pemerintah, calon anggota legislative tahun 2014, tokoh
masyarakat dan individu yang peduli dan pro demokrasi dan perwakilan penyelenggara
pemilu yang ada di Sumatera Utara.
6.
Waktu
Hari/Tgl : Rabu, 27
November 2013
Pukul : 09.00
Wib s/d 14.30 Wib
Tempat : Restoran
Kenanga
Jl. Jamin Ginting KM 12,5
Simpang RSUP Adam Malik
Medan
7.
Panitia
Ketua :
Ranto Sibarani
Notulensi : Juniwan
Keuangan : Irma Afini
Anggota : Juni Aritonang
Anggota : Fitri Sari Warasi
8.
Penyelenggara
Kegiatan ini diselenggarakan atas
kerjasama lembaga-lembaga yang pro demokrasi diantaranya KSPPM, Bakumsu, Yapidi,
YAK GBKP, Lentera, KPS dan Kotib, yang tergabung dalam Forum Organisasi Non
Pemerintah Sumatera Utara untuk Demokrasi (FORSDEM).
9.
Anggaran Biaya
Biaya kegiatan ini dibiayai oleh KSPPM,
Bakumsu, Yapidi, YAK GBKP, Lentera, KPS dan Kotib.
1.
Penutup
Demikian kerangka acuan ini dibuat,
dengan harapan dapat dijadikan acuan dalam melaksanakan kegiatan Dialog Publik
“Meneropong masa depan demokrasi di Sumatera Utara”. Atas dukungan dan
perhatiannya dalam kegiatan ini kami sampaikan terimakasih.
Komentar