Konflik Lahan di Sumut Meningkat
Mongabay.com | Indonesia People Alliance (IPA) Sumatera Utara (Sumut), mencatat sepanjang dua tahun terakhir terjadi peningkatan konflik lahan, bahkan sampai jatuh korban jiwa. Konflik ini terjadi karena pembukaan tambang, dan perebutan lahan eks PTPN II antara mafia tanah dengan warga yang sudah tinggal turun temurun di lokasi konflik. Ada juga perambahan hutan akibat pembukaan tambang.
Ranto Sibarani, Koordinator IPA Sumut, Senin (23/9/13), mengatakan, hasil penelitian dan data mereka, konflik tanah di berbagai sektor seperti tambang, perkebunan, kehutanan, dan infrastruktur, meningkat sepanjang tahun.
Pada akhir 2010 ada 106 konflik, akhir 2012 lalu awal September 2013, menjadi 163 konflik. Dari 163 kasus, 97 konflik atau 60 persen, karena ada perusakan dan perambahan perkebunan. Lalu, 36 kasus atau 22 persen di sektor kehutanan, dimana angka perambahan, penebangan dan perusakan hutan cukup parah.
Ranto mengatakan, satu konflik terjadi di tambak atau pesisir seperti di Belawan, Kota Sibolga, dan Kabupaten Tanjung Balai. Ada 21 kasus atau 13 persen konflik terjadi di sektor infrastruktur. Akibat konflik ini, 24 petani atau warga sekitar tewas. Konflik itu, melibatkan lebih 69.975 keluarga, luasan areal konflik mencapai 472.048,44 hektar.
Sedangkan catatan IPA dari Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Polda Sumut), sejak 2005 hingga 16 Januari 2012, terjadi 2.794 sengketa lahan.
Dia menyebutkan, penelitian selama dua tahun terakhir itu, menemukan beberapa kasus tanah yang bergejolak hingga memakan korban jiwa dan harta benda, karena kehadiran pemegang hak guna usaha (HGU). Juga pemegang HPH atau HTI, dan izin pertambangan oleh perkebunan, melibatkan PTPN II dan PTPN III.
Korban tewas yang berjuang mempertahankan kelestarian lingkungan itu, dari Kelompok Tani Sei Mencirim Medan, dan Kelompok Tani Padang Halaban Labuhan Batu. Lalu, Kelompol Tani Padang Lawas, melawan PT Sumatera Riang Lestari (SRL) di Padang Lawas karena merusak hutan dan menghancurkan lahan hijau demi proyek mereka.
Konflik di sektor kehutanan oleh PT Toba Pulp Lestari (TPL) atas tanah adat di Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas), Kabupaten Simalungun, Kabupaten Toba Samosir, dan Kabupaten Tapanuli Selatan. Pembabatan hutan oleh PT Gorda Duma Sari (GDS) di Kabupaten Samosir, perusakan hutan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).
Konflik di sektor pertambangan yang menyebabkan korban jiwa, antara lain oleh PT Sorik Mas Mining di Kabupaten Mandailing Natal (Madina), PT Dairi Prima Mineral di Kabupaten Dairi, dan Tambang Emas Martabe, milik PT Agincourt Resources. “Jika dilakukan pendataan komprehensif dan obyektif, dipastikan konflik lahan dan perambahan hutan berikut korban jauh lebih besar.”
IPA menilai, perlu penghentian perusakan hutan yang cukup tinggi, pelanggaran HAM dan kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan di Sumut. “Jika tidak, delapan atau 10 tahun akan datang, anak cucu kita takkan lagi bisa merasakan hijaunya daun, kesegaran udara di negeri ini.”
Ranto Sibarani, Koordinator IPA Sumut, Senin (23/9/13), mengatakan, hasil penelitian dan data mereka, konflik tanah di berbagai sektor seperti tambang, perkebunan, kehutanan, dan infrastruktur, meningkat sepanjang tahun.
Pada akhir 2010 ada 106 konflik, akhir 2012 lalu awal September 2013, menjadi 163 konflik. Dari 163 kasus, 97 konflik atau 60 persen, karena ada perusakan dan perambahan perkebunan. Lalu, 36 kasus atau 22 persen di sektor kehutanan, dimana angka perambahan, penebangan dan perusakan hutan cukup parah.
Ranto mengatakan, satu konflik terjadi di tambak atau pesisir seperti di Belawan, Kota Sibolga, dan Kabupaten Tanjung Balai. Ada 21 kasus atau 13 persen konflik terjadi di sektor infrastruktur. Akibat konflik ini, 24 petani atau warga sekitar tewas. Konflik itu, melibatkan lebih 69.975 keluarga, luasan areal konflik mencapai 472.048,44 hektar.
Sedangkan catatan IPA dari Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Polda Sumut), sejak 2005 hingga 16 Januari 2012, terjadi 2.794 sengketa lahan.
Dia menyebutkan, penelitian selama dua tahun terakhir itu, menemukan beberapa kasus tanah yang bergejolak hingga memakan korban jiwa dan harta benda, karena kehadiran pemegang hak guna usaha (HGU). Juga pemegang HPH atau HTI, dan izin pertambangan oleh perkebunan, melibatkan PTPN II dan PTPN III.
Korban tewas yang berjuang mempertahankan kelestarian lingkungan itu, dari Kelompok Tani Sei Mencirim Medan, dan Kelompok Tani Padang Halaban Labuhan Batu. Lalu, Kelompol Tani Padang Lawas, melawan PT Sumatera Riang Lestari (SRL) di Padang Lawas karena merusak hutan dan menghancurkan lahan hijau demi proyek mereka.
Konflik di sektor kehutanan oleh PT Toba Pulp Lestari (TPL) atas tanah adat di Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas), Kabupaten Simalungun, Kabupaten Toba Samosir, dan Kabupaten Tapanuli Selatan. Pembabatan hutan oleh PT Gorda Duma Sari (GDS) di Kabupaten Samosir, perusakan hutan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).
Konflik di sektor pertambangan yang menyebabkan korban jiwa, antara lain oleh PT Sorik Mas Mining di Kabupaten Mandailing Natal (Madina), PT Dairi Prima Mineral di Kabupaten Dairi, dan Tambang Emas Martabe, milik PT Agincourt Resources. “Jika dilakukan pendataan komprehensif dan obyektif, dipastikan konflik lahan dan perambahan hutan berikut korban jauh lebih besar.”
IPA menilai, perlu penghentian perusakan hutan yang cukup tinggi, pelanggaran HAM dan kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan di Sumut. “Jika tidak, delapan atau 10 tahun akan datang, anak cucu kita takkan lagi bisa merasakan hijaunya daun, kesegaran udara di negeri ini.”
Komentar