Mengapa Mahasiswa Marah? Solidaritas untuk Juliansen Ginting dan Mahasiswa yang Dipenjara
Baru-baru ini kita
dikejutkan dengan berita yang banyak tertulis di media massa, baik itu cetak
maupun elektronik tentang mahasiswa Nommensen. Pada tanggal 11 Mei 2013 yang
lalu, dua orang mahasiswa yaitu Juliansen Ginting (23) dan Natal Susanto (22) terjatuh
dari sepeda motornya. Dugaan sementara mereka terjatuh karena ditendang oleh
oknum yang tidak dikenal. Satu dari mahasiswa tersebut, Juliansen yang
merupakan mahasiswa fakultas Fisipol meninggal dunia, sedangkan temannya, Natal menderita luka-luka dan masih dirawat
di rumah sakit.
Tidak sedikit media
cetak yang langsung menulis bahwa oknum yang diduga menendang sepeda motor
mahasiswa malang tersebut adalah oknum aparat berseragam polisi yang
mengendarai sepeda motor trail. Informasi ini langsung menyebar, dikonsumsi
oleh masyarakat, mahasiswa biasa, dan mahasiswa yang sejak awal sudah memupuk
semangat peduli sosialnya atau sering juga disebut aktivis. Salah satu media bahkan
dengan lugas menulis oknum yang menendang berseragam polisi, informasi ini dari
korban yang luka, Natal, yang sempat ditemui wartawan media tersebut di Rumah
Sakit Sari Mutiara.
Sampai empat hari
setelah peristiwa tersebut, belum ada juga pernyataan resmi pihak berwajib
tentang peristiwa tewasnya Juliansen. Hal ini membuat mahasiswa merasa bahwa
informasi pelaku yang menendang rekannya tersebut adalah benar oknum polisi. Beberapa
mahasiswa yang merupakan aktivis di Universitas HKBP Nommensen langsung secara
spontan mengorganisir aksi solidaritas untuk mendesak pihak berwajib mengusut
peristiwa tersebut.
Aksi solidaritas yang
dilakukan pada tanggal 15 Mei 2013 ini berbuntut panjang, setidaknya ratusan
mahasiswa yang marah karena kematian rekannya yang masih misteri tersebut
memblokir jalan dan merusak fasilitas umum yang ada disekitar Universitas
Nommensen. Akhirnya bentrokan antara mahasiswa dan aparat kepolisian yang
menertibkan aksi tersebut tidak terhindarkan. Setidaknya dua anggota brimob
yang sedang melintas pada saat aksi tersebut berlangsung mendapat pukulan dari
mahasiswa. Namun, pihak kepolisian yang menembakkan gas air mata dan peluru
karet juga tidak mau berdiam diri, beberapa mahasiswa mendapatkan pukulan
sampai berdarah, mahasiswa malah sempat mendokumentasikan hal tersebut.
Buntut dari aksi
solidaritas yang berujung bentrok tersebut adalah pihak Kepolisian menetapkan 3
orang menjadi tersangka, dan saat ini sedang berada dalam tahanan Polresta
Medan yang dititipkan di Rumah Tahanan Polisi Daerah Sumatera Utara. Dilain
pihak, pemerintah dalam hal ini Dinas Perhubungan bekerja dengan cepat
menghitung kerugian yang dialami karena aksi mahasiswa tersebut. Dishub Medan
menyatakan menderita kerugian Rp200 juta lebih. Kerugian tersebut, terdiri dari
lampu 3 aspek berjumlah 11 unit, pedestrian 7 unit dan panah 1 Aspek ,di tambah
2 buah kontroler.
Seandainya
tidak ada aksi mahasiswa?
Apa yang akan terjadi
seandainya tidak ada aksi solidaritas mahasiswa atas kematian rekannya
tersebut? Tidak ada yang bisa menjamin pihak kepolisian akan mencari apa penyebab
kematian Juliansen. Padahal di Sumatera Utara khususnya Medan dan sekitarnya
akhir-akhir ini terlihat semakin mencekam, perampokan dan pembunuhan menjadi
berita yang sangat akrab menghiasi berita pagi media lokal di Medan. Kematian
Juliansen adalah salah satu peristiwa kriminal yang membangkitkan kemarahan
mahasiswa, karena tidak adanya respon cepat dari yang berwajib?
Aksi mahasiswa
Nommensen yang marah ini sebenarnya tidak boleh dilihat dari kerusakannya saja.
Apa yang disuarakan oleh mahasiswa tersebut adalah akumulasi kekecewaan yang
selama ini sudah bertumpuk. Mahasiswa kecewa melihat kinerja aparatus negara
yang tidak sigap dalam mengusut peristiwa kriminal yang dialami oleh masyarakat
biasa khususnya mahasiswa. Apalagi mahasiswa Nommensen masih mengingat
bagaimana dua orang rekan mereka
ditembak mati pada peristiwa berdarah 1 Mei 2000 yang lalu. Kerusakan yang
ditimbulkan oleh aksi mahasiswa tidaklah sebanding dengan kematian Juliansen.
Terlepas dari apa atau siapa oknum yang menyebabkan kematiannya, namun
mahasiswa sudah terlanjur marah karena pihak kepolisian juga tidak dengan cepat
merespon pemberitaan media yang menyebut ada oknum aparat yang menendang sepeda
motor mahasiswa tersebut.
Begitu mahasiswa
melakukan aksi solidaritas yang berujung bentrokan tersebut, esoknya Kepolisian
Daerah Sumatera Utara memutar cctv yang menunjukkan bahwa peristiwa Juliansen
adalah kecelakaan tunggal, Kepolisian konon mengumpulkan empat cctv dari
sekitar lokasi kejadian. Hal ini perlu diinvestigasi lebih lanjut. Kenapa pihak
kepolisian hanya menunjukkan cctv dalam membuktikan bahwa peristiwa Juliansen
adalah kecelakaan tunggal? Bukankan lebih baik meminta keterangan dari Natal
yang menjadi salah satu korban luka dari peristiwa tersebut? Bahkan, kepolisian
sebenarnya bisa dengan sangat mudah melakukan investigasi dengan mengumpulkan
informasi dari warga di sekitar lokasi kejadian, dari pada hanya menunjukkan
cctv yang tidak bisa dengan sempurna merekam kecelakaan yang terjadi karena
hanya menyorot pada titik tertentu saja, tanpa bisa mengikuti gerak sepeda
motor yang katanya melaju kencang.
Secara sederhana, bisa
kita tarik kesimpulan, aksi solidaritas mahasiswa yang meskipun tidak bisa kita
benarkan tindakan pengrusakan fasilitas umum sebagaimana yang telah terjadi, setidak-tidaknya
telah berhasil mendesak Kepolisian untuk mengumpulkan cctv dalam rangka
menjawab tuduhan mahasiswa. Ya ng tersisa saat ini adalah, pertama, mahasiswa
saat ini menunggu pihak Kepolisian Daerah Sumatera Utara untuk menghadirkan saksi
yang merupakan rekan Juliansen, Natal yang saat ini masih dirawat karena
lukanya dan menunggu kepolisian meminta kesaksian warga sekitar untuk
membuktikan peristiwa tersebut adalah kecelakaan tunggal, tentunya kesaksian
tersebut seharusnya tidak dibawah tekanan.
Kedua, mahasiswa
menunggu ketiga rekan mereka yang sudah ditetapkan sebagai tersangka dan saat
ini ditahan di Polda Sumatera Utara untuk dilepaskan. Ketiga, jika terbukti
pemicu meninggalnya Juliansen adalah oknum kepolisian, mahasiswa menunggu pihak
yang berwajib mengadili pelakunya. Mahasiswa pasti tidak akan melampiaskan
kemarahan dengan melakukan pengrusakan seandainya aparat negara bertindak sigap
dalam menyikapi tindakan-tindakan yang merugikan warga biasa, sebaliknya
mahasiswa sering melihat aparat negara dengan sigap dan senjata lengkap
melindungi warga kaya dan perusahaan-perusahaan yang merusak lingkungan
daripada melindungi warga yang hak-haknya lebih sering terancam.
Akankah
mahasiswa semakin marah?
Belajar dari sejarah
republik ini, turunnya Soeharto tidak terlepas dari aksi mahasiswa yang marah.
Mahasiswa marah karena akumulasi kekecewaan selama 32 tahun pemerintahan
Soeharto. Akumulasi kekecewaan ini memuncak karena kematian empat orang
mahasiswa Universitas Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998. Mereka tewas tertembak
di dalam kampus, terkena peluru tajam di tempat-tempat vital seperti kepala,
tenggorokan, dan dada. Kematian empat orang mahasiwa ini, Elang Mulia Lesmana
(1978 - 1998), Heri Hertanto (1977 - 1998), Hafidin Royan (1976 - 1998), dan
Hendriawan Sie (1975 - 1988). Telah membangkitkan kemarahan mahasiswa di
seluruh Indonesia.
Akhirnya, Soeharto
lengser pada tanggal 21 Mei 1997 karena desakan mahasiswa yang marah ini.
Kerusakan fasilitas umum akibat aksi yang dilakukan mahasiswa pada saat
menjatuhkan Soeharto jauh lebih besar dan merata di seluruh wilayah Indonesia,
namun reformasi dan perubahan dan segala konsekuensi setelah era Orde Baru tersebut jatuh telah
kita jalani saat ini. Bagaimanapun, kita tidak bisa melupakan peranan mahasiswa
pada peristiwa tersebut. Salah satu tuntutan mahasiswa, menghapuskan dwifungsi
TNI/POLRI telah berhasil dilakukan, Polisi tidak lagi dibawah naungan militer,
dengan harapan Polisi mampu bekerja maksimal melindungi hak-hak warga negara
daripada memikirkan strategi perang, itulah harapan mahasiswa.
Untuk konteks Sumatera
Utara, kematian Juliansen bisa saja menjadi pemicu kemarahan mahasiswa di
Daerah ini. Saat ini mungkin hanya mahasiswa Universitas Nommensen yang marah
dan melakukan aksi solidaritas, kedepan, mahasiswa universitas lain yang
memiliki akumulasi kekecewaan terhadap negara, dalam hal ini khususnya kepada
pihak Kepolisian bisa saja melakukan aksi solidaritas yang lebih besar yang
dampaknya mungkin bisa lebih buruk daripada apa yang terjadi di Nommensen.
Banyak informasi yang bisa membuktikan bahwa solidaritas mahasiswa jauh lebih
besar jika kesewenang-wenangan dipertontonkan di depan publik, dan bila ada
rekan mereka yang sudah tewas karena kesewenang-wenangan tersebut.
Saran
Karena itu, sebaiknya
pihak berwajib, dalam hal ini negara dan aparatusnya sebaiknya dengan sigap
menghitung dampak buruk dari aksi lanjutan mahasiswa yang akan dilakukan
daripada menghitungnya setelah aksi kemarahan dilakukan. Aksi lanjutan ini
pasti akan dilakukan mahasiswa jika mereka
merasa bahwa bukti yang dipertontonkan
kepolisian yang menyebut peristiwa Juliansen adalah kecelakaan tunggal masih
kabur. Mahasiswa yang bersolidaritas juga akan semakin banyak sebagai dampak dari ditahannya ketiga orang mahasiswa yang
bersolidaritas atas kematian Juliansen tersebut. Dampak buruk dari aksi
mahasiswa yang marah sebenarnya dapat diminimalisir jika dilakukan
tindakan-tindakan preventif dengan melakukan investigasi yang jujur terhadap
kematian Juliansen dan melepaskan ketiga mahasiswa yang bersolidaritas
tersebut.
Pihak Universitas juga
sebaiknya membentuk tim investigasi atau tim pencari fakta atas peristiwa
Juliansen tersebut, jangan malah lepas tangan dan mengancam akan memberikan
sanksi pecat kepada mahasiswa yang melakukan aksi, karena bagaimanapun,
orangtua mahasiswa mempercayakan anak-anaknya kuliah di Nommensen bukan untuk
dipecat sebagai mahasiswa, tapi untuk di bina menjadi sumber daya yang berguna
dikemudian hari. Tim pencari fakta tersebut lebih baik dilakukan dengan cepat,
dari pada pihak yang berwajib nantinya dengan cepat menghitung kerusakan yang
diakibatkan oleh aksi mahasiswa yang lebih marah dan dengan jumlah yang lebih
besar yang sudah terbukti bisa melengserkan presiden sekalipun.
Ditulis Oleh: Ranto Sibarani
Ditulis Oleh: Ranto Sibarani
Komentar